SIAPAKAH PAHLAWAN SEBENARNYA PEJUANG WANITA
BERKAS SEKOLAH, 20 April 2016, Sekilas
Tentang Kartini Dan Pemikirannya
Raden
Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di
Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya
lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan
Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan
pribumi.
Pemikiran
Kartini
Pada
surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat
itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya
berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang
sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan
menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti
tertulis : Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan
Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit,
Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah
dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat
Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada
perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap
keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan
perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku
sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan
harus bersedia dimadu.
Surat-surat
Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika
bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang
ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya
meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup.
Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang
ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan
cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia
disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi,
meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda
ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan
Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam
surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan
keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang
hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat
penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke
Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik
bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada
pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan
studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya
Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah.
"...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan
kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu
pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini
dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat
menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa.
Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan
tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan
bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami
tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan
sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini
dapat menulis sebuah buku.
Kalau
di baca di atas Pemikiran kartini hanya sebatas Menulis Buku pengarang bukan
Pendidikan hanya menuangkan curhatan dirinya kedalam tulisan saja hasil nyata
kerja Kartini belum Ada sekarang Lihat tentang Dewi Sartika.
Sekilas
tentang Dewi Sartika dan Pemikirannya.
Raden
Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11
September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum
wanita, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Dewi Sartika adalah puteri dari suami-istri Raden Somanagara dan Raden Ayu
Rajapermas. Waktu menjadi patih di Bandung, Somanegara pernah menentang
Pemerintah Hindia-Belanda. Karena itu istrinya dibuang di Ternate. Dewi Sartika
dititipkan pada pamannya, Patih Arya Cicalengka.
Setelah
remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah
dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong
pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang
sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak
menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang
kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir.
Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika
bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tahun
1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, dari
pernikahannya itu ia memiliki putra bernama R. Atot, yang merupakan Ketua Umum
BIVB, sebuah klub sepak bola yang merupakan cikal bakal dari Persib
Bandung.Suami dari Dewi Sartika memiliki visi dan cita-cita
yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang Pamulang, yang saat itu
merupakan sekolah Latihan Guru.
Sejak
1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah
ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di
hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit,
membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai
berkonsultasi dengan Bupati R.A.A Martanagara pada 16 Januari 1904, Dewi
Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda.
Tenaga pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny.
Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang,
menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun
kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan
Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan
pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama
keluar pada tahun 1909, bahasa sundabisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan
sekolah formal.
Pada
tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola
Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki
cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan
Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten
se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti
menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota
kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal
tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan
Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap
memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920,
ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan
September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang
telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden
Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang
jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Sekarang
kita Bandingkan siapakah Pahlawan sebenarnya dalam emansipasi Wanita, Kartini
hanya berhayal sedang Dewi sartika Bekerja, Dewi Sartika Bukan Program Saja
Tapi Progresnya jelas dan hasilnya dirasakan sampai sekarang.
Andai
saja pada saat itu tidak terlahir Dewi sartika
Hanya Kartini Saja apakah mungkin para Wanita Indonesia mengecam
pendidikan baca pun susah Buku kartini mungkin kah dibaca Wanita Indonesia
kalau Para wanitanya tidak sekolah, Buku Curhatan Kartini hanya di baca
temannya orang belanda bukan wanita Indonesia.
Peringatan
Hari kartini sebagai pahlawan pendidikan dan emansipasi wanita Politisasi
Jawanisme andaikata Kartini Bukan Priyayi Jawa mungkin tidak seperti sekarang
ada peringatan banyak Pahlawan Wanita Indonesia yang jelas berjuang secara
Fisik Mental termasuk dunia Pendidkan tetapi sayang mereka tidak terlahir di
jawa, apalagi Wanita tersebut ber Religialisme Islam mungkin hilang dari
cerita.
Kartini
hanya Korban Politisasi Jawanisme pengkultusan dan pencucian otak sampai dari
paling muda TK Paud sampai sarjana sekalipun S2, hanya Kartini di Otaknya
sebagai Pahlawan Emansipasi padahal hasil karyannya Cuma curhatan saja,
silahkan sahabat blogger bandingkan sendiri ini artikel sebagai pemikiran saya
saja terserah pandangan anda semua.
Sumber
Comments
Post a Comment